Saya sendiri kurang mempercayai mitos ini. Tentu bukan semata -mata lantaran saya seorang cinamurtad. Sesungguhnya dalam mengapresiasi suatu kebudayaan apalagi terhadap yang erat kaitannya dengan warisan leluhur saya cenderung bersikap seperti Ong Hok Ham. Memberikan tempat estetika tertinggi dibandingkan ukuran-ukuran lainnya. Kendati begitu, toh kita juga menyadari bahwa (meminjam istilah Buce Malawau) sebagai bagian dari anak jaman. Seiring dengan lajunya waktu, akan ada nilai-nilai warisan leluhur yangtetap bisa dipertahankan maupun sebaliknya, ada juga yang harus ditanggalkan. Alasannya, ya karena memang sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat-tingkat kesadaran, intelektualitas dan terutama gaya hidup kita di jaman ini.
Bagi saya mitos angka 4 adalah contoh nilai kebudayaan yang bertentangan dengan tingkat intelektualitas. Sebab, pengetahuan sejarah dewasa ini telah mengajarkan pada kita. Bahwa ternyata di masa lalu para seniman Tiongkok justru menganggap, hanya ada 4 perempuan paling cantik di muka bumi ini bukan 3,5,6,7,8 dan seterusnya. Pun para sastrawan kita di masa kini, telah bermufakat bahwa hanya ada 4 karya literatur klasik yang utama. dimana dari karya –karya tersebutlah, kita bisa mempelajari kehidupan awal kebudayaan China sejak abad ketiga masehi.
4 Karya Sastra klasik Utama.
4 karya sastra klasik utama terdiri dari Roman Tiga Kerajaan, Kisah 108 pendekar (Water Margin), Legenda perjalanan ke barat. ketiga karya ini ditulis pada masa dinasti Ming juga Dream of The Red Chamber, ditulis pada masa dinasti Qing. Berdasarkan waktu kejadian, keempat karya sastra klasik utama tersusun dalam kategori sebagai berikut:
Roman Tiga kerajaan adalah karya yang paling tua. Terdapat dua versi dari kisah ini, yang pertama adalah karya Chen Shou sejarawan dari Dinasti Jin, dalam versi ini dikisahkan bagaimana Cao-Cao seorang Jenderal yang jenius, cemerlang dan berbudi bersama ahli strategi kepercayaannya Sima Yi (yang merupakan leluhur para penguasa dinasti Jin) membasmi pemberontak-pemberontak pasca berakhirnya dinasti Han.
Sementara karya kedua ditulis oleh Luo Guanzhong seorang sastrawan dinasti Ming, yang justru menjadikan para pemberontak Shu sebagai tokoh protagonist. Penyampaian kisah ini dalam bentuk novel serta tambahan bumbu-bumbu fiksi, menjadikan versi ini cenderung lebih bisa diterima dan dijadikan acuan hingga kini . bahkan konon berkat fiksi Lu Guang Zhong inilah, di bekas ibukota wilayah separatis Shu, Chengdu sekarang berdiri sebuah klenteng merangkap areal pemakaman serta situs sejarah yang ditujukan untuk memuja tiga bersaudara ( Liu Bei, Guan Yu dan Zhang Fei) , kelima jenderal Harimau ( Zhao Yun, Ma Chao dan Huang Zhong) serta sang ahli strategi setengah dewa, Zhuge Liang. Juga sebuah puisi karya Jenderal Cao-Cao diukir pada sebuah batu di lokasi yang diyakini sebagai tebing merah. Di kemudian hari Jenderal Guan Yu dipuja sebagai dewa dengan sifat-sifat ksatria, pelindung kaum pedagang dan penegak hukum serta penjaga Buddha. Sementara Zhuge Liang, dikenal sebagai dewa dapur dan dewa kejeniusan meski hanya dipuja dalam lingkup komunitas yang lebih kecil.
Karya kedua adalah Water Margin atau yang lebih dikenal dengan kisah 108 pendekar. Ditulis oleh Shi Nai’an.Mengisahkan interaksi 108 pendekar di jaman kerajaan Song yang karena keadaan terpaksa menjadi gerombolan perompak di gunung, meski demikian sifat loyalitas mereka pada kerajaan tetap tinggi. Ke 108 pendekar membantu kerajaan mengusir para penjajah, kemudian mereka mendapatkan pengampunan kaisar dan sejumlah jabatan namun karena para pendekar senantiasa membela kebenaran. Sebagian dari mereka diakhir kisah justru dibinasakan oleh konspirasi pejabat-pejabat korup kerajaan.
para peneliti sastra dan astrologi sepakat bahwa Ke 108 pendekar merupakan symbol dari ilmu astrologi tiongkok kuno, meski demikian sejumlah sejarawan meyakini bahwa kisah pintu air memang pernah terjadi, atau setidaknya beberapa pendekar dalam kisah ini merupakan tokoh nyata yang pernah hidup di jaman itu.
Karya berikutnya mungkin adalah yang paling terkenal diantara lainnya. Journey To the West ditulis Oleh seorang sastrawan Buddha Wu Cheng’en. Journey to The West terinspirasi dari kisah Biksu Xuanzang (602 – 664) di masa dinasti Tang yang melakukan perjalanan seorang diri ke India demi menerjemahkan naskah sankrit asli (mantra Pan Juo Puo Ro Mi tho). Dalam kisah ini diciptakan sejumlah tokoh fiksi sebagai murid-murid beliau yaitu kera sakti yang melambangkan nafsu liar manusia, siluman babi yang melambangkan sifat serakah serta tokoh siluman laut yang melambangkan kebodohan manusia. Filosofi-nya didasarkan pada ajaran Buddha itu sendiri bahwa meski sifat jelek dalam diri manusia bermacam-macam namun asalkan mampu menahan hawa nafsu dan dibimbing guru yang baik akan menuju kesempurnaan. (jadi jika ada sebuah agama ,non-buddhis yang mengklaim bahwa Kera sakti , si Babi dan si Siluman air adalah pengikut ajaran MLM-nya…. Wake up guys, they not even real )Kisah Wu Song yang membunuh playboy Ximen Qing & kekasihnya Pan Jinlian demi membalaskan dendam kematian adiknya, Wu Dalang menjadi sub plot tersendiri yang ditulis oleh Xiaoxiao Sheng dengan judul Jin Ping Mei. Sempat dianggap karya kelima dari 4 karya sastra utama, namun akhirnya tereliminasi lantaran banyaknya versi bajakan yang beredar. Serta kenyataan bahwa Jin Ping Mei lebih banyak menceritakan tentang metode mencapai kenikmatan seksual daripada nilai-nilai kehidupan.
Dalam perjalanannya, rombongan biksu Xuanzang sering diganggu oleh para siluman namun selalu saja mereka sanggup meloloskan diri. sebab mereka seringkali mendapat bantuan dari para dewa-dewa dalam ajaran Tao, termasuk yang dikisahkan dalam kisah Fengshen Yanyi. (kisah pendiri dinasti Zhou menaklukkan penguasa dinasti Shang dan mendirikan dinasti Zhou dengan bantuan dewa kesabaran dan kebijaksanaan Jiang Ziya dan Jenderal langit Li Ching bersama anaknya pangeran ketiga Nazha) serta para Buddha tingkat bawah. Hal ini menunjukkan bahwa di jaman Kerajaan Ming di Tiongkok nilai-nilai toleransi dalam Sam Kauw (tiga ajaran Buddha, Tao dan filosofi khonghucu dapat berhubungan dengan baik).
Karya terakhir adalah Dream of the Red Chamber, karya yang paling modern diantara lainnya diapreasiasi karena banyaknya tokoh yanga dikisahkan, plot cerita yang menarik dan penjelasan detail tentang status sosial di masa itu. mengisahkan tentang kehidupan sebuah keluarga besar di jaman dinasti Qing yang konon merupakan keluarga penulisnya sendiri, Cao Xueqin. Anggota keluarga ini di dominasi oleh kaum perempuan. Kisah ini membabarkan keagungan dari nilai-nilai filosofi Konghucu baik tentang moral maupun hubungan antara orang tua dan anak, kakak dan adik , suami , istri dan para gundik , serta rakyat kepada kaum penguasa. Seperti Jin ping Mei karya ini juga sering mengisahkan tentang kenikmatan seksual sehingga dalam literature barat karya ini disensor dan masuk kategori dewasa.
4 wanita tercantik di China
Empat wanita tercantik di China adalah julukan bagi empat figur wanita ( tiga merupakan perempuan asli dan seorang fiksi) yang paling banyak disebut dan seringkali menjadi tema dalam karya literature-literatur tiongkok klasik. Keempat figur dikenal karena kepandaian mereka dalam menggunakan kecantikan mereka untuk memanipulasi seorang penguasa hingga sang penguasa kehilangan kebijaksanaan dan wilayah kekuasaannya. Keempat figur wanita cantik dalam kebudayaan Cina peranakan sering dilukiskan dalam sebuah ornamen di klenteng-klenteng contohnya terdapat pada klenteng Hwie Ing kiong Madiun dan Klenteng See Hoo Kiong di kawasan Semarang. langsung saja, keempat wanita ini adalah:
Xi Shi : hidup di jaman musim semi dan musim gugur konon kecantikannya sanggup membuat ikan tenggelam karena lupa bernafas.
Pada masa pemerintahan raja Goujian dari kerajaan Yue demi menaklukkan musuhnya raja Fuchai dari kerajaan Wu, beliau melatih gadis yang cantik bernama Xi Shi guna dipersembahkan menjadi salah satu selir raja Fuchai, yang terkenal mata keranjang. Setelah Xi Shi masuk ke kerajaan Wu, lewat kecantikannya dengan mudah dia membuai Fuchai dan menjauhkan sang raja dari urusan ketatanegaraan. Menghasut sang Raja agar menghukum mati perdana menteri dan jenderal yang paling kuat di negerinya serta mengunakan seluruh kas kerajaan guna membuat istana megah bagi dirinya.
Sehingga beberapa waktu kemudian dengan mudah raja Goujian dari Yue dapat menaklukkan kerajaan Wu. Kisah Xi Zhi begitu menginspirasi rakyat Vietnam dimasa kini, hingga mereka menganugerahinya gelar pahlawan.
Wang Zhaojun : hidup di masa dinasti han, kecantikannya sanggup membuat burung-burung yang sedang berada di langit lupa terbang dan terjatuh.
Perang antara suku Xiong Nu dan Penguasa HAN seringkali terjadi demi menciptakan perdamaian kaisar Yuan dari HAN rela menyerahkan selir-nya yang paling cantik Wang Zhaojun untuk menjadi permaisuri kepala suku Xiong Nu dengan demikian untuk beberapa saat kedamaian antara HAN dan Xiong Nu mampu dicapai.
DiaoChan : hidup di masa akhir dinasti Han kecantikannya dikatakan sanggup menutupi sinar bulan.
Diao Chan merupakan satu-satunya tokoh fiksi dalam deretan keempat wanita paling cantik di China terdapat dua versi cerita mengenai dirinya. Pertama Diao Chan adalah mata-mata wanita yang sengaja dikirim Wang Yun untuk mengacaukan hubungan jenderal Lu Bu dan penguasa lalim Dong Zhuo. Setelah Dong Zhou tewas Diao Chan menjadi istri jenderal Lu Bu.
Versi kedua menceritakan bahwa Liu bei, Guan Yu dan Zhang Fei sama-sama jatuh cinta pada Diao Chan namun lantaran Guan Yu ingat akan sifat licik Diao Chan yang mengadu domba Lu bu dan Dong Zhou dengan kecantikannya. Demi mempertahankan ikrar persaudaraan di bawah pohon persik, Guan Yu membunuhnya.
Yang Guife: hidup di masa kerajaan Tang, dikatakan kecantikannya membuat semua bunga ditaman layu karena malu.
Yang Guife merupakan selir kesayangan kaisar Xuanzong dari Tang dengan kecantikannya dia memanipulasi kaisar agar mengangkat kerabatnya menjadi pejabat istana dan menaikkan kekasihnya Jenderal An Lushan ke jabatan militer tertinggi di negeri itu. Ia gantung diri setelah pasukan kerajaan berhasil mengalahkan pemberontakan kekasihnya. Kisah tentang Yang Guife pernah diceritakan kembali oleh Kho Ping hoo dalam serial Bu punsu.
Ok cukup pembabarannya, udah terlalu OT
Kembali lagi ke angka 4, bagaimana sikap saya terhadap angka ini? Saya anggap angka 4 adalah angka biasa sama seperti angka lainnya. Segala mitos itu gimana-pun kebenarannya masih diragukan. Hanya Allah SWT yang Maha Kuasa dan Maha mengetahui jalannya nasib seorang hambanya. Lagipula jika memang angka 4 itu keramat dan segitu menakutkannya mengapa malah dalam sejarah literatur Tiongkok, mereka menciptakan Diao Chan, bukankah tanpa Diao Chan justru angka 4 dapat dihindari?
Mengistimewakan sebuah angka daripada angka lainnya cenderung menjadikan seseorang itu Syirik dan Musyrik. Biarlah semuanya berjalan alami bagi saya. Tidak ada yang harus dikhawatirkan dari terbitnya artikel bertema angka 4 ini dalam postingan pertama saya di blog baru ini (TAF)
Pada tahun 2011 tertanggal 5 juli penulis selesaiken ini toelisan di Madiun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar