Minggu, 29 April 2012

on kaka kabi sanmaei sowaka



Kisah awal tentang Kṣitigarbha atau Dìzàng Wáng Púsà (地藏王菩薩),  tercatat dalam sutra janji suci Ksitigrabha Bodhisattva . dalam sutra ini dijelaskan bahwa pada suatu waktu di masa lalu, sebelum menjadi seorang Bodhisattva, beliau terlahir sebagai seorang gadis miskin, dari seorang ibu yang tidak bermoral.  Setelah kematian ibunya, sang gadis kemudian menjual semua hartanya yang sedikit, dan berkelana ke seluruh penjuru dunia mencari guru-guru spiritual, demi menemukan cara untuk membebaskan jiwa ibunya dari jurang siksa neraka.

Sang Buddha merasa takjub dengan usaha dan bakti sang Gadis, beliau-pun lantas berkenan menolong jiwa ibu sang Gadis yang tengah menjalani siksa di alam neraka agar dapat segera berinkarnasi. Konon bakti sang Gadis dianggap telah mampu membebaskan ibunya dari alam neraka.

Sang Buddha kemudian mengajak sang Gadis untuk berkeliling di neraka. Trenyuh melihat penderitaan segala jiwa-jiwa yang tersiksa dalam neraka, sang Gadis berjanji akan senantiasa mendoakan dan membimbing seluruh penghuni neraka agar mereka dapat segera berinkarnasi. Sang Gadis kemudian memutuskan untuk tinggal di dalam neraka sampai sang Buddha suci Maitreya berkenan untuk berinkarnasi kedunia, demi menyelamatkan semua makhluk, bahkan dia berjanji tidak akan menjadi Buddha (sempurna) sebelum alam neraka kosong.



Dalam ritual keyakinan Buddha aliran Mahayana di kawasan asia timur, Ksitigarbha bersama Manjusri, Samantabhadra dan Avalokitesvara disebut sebagai empat Bodhisattva utama. Nama Ksitigarbha bila diterjemahkan kurang lebih berarti Harta karun dunia atau semesta alam tak berbatas.

Awalnya , setiap rupang dan pengambaran Dìzàng Wáng Púsà (地藏王菩薩) mengadopsi bentuk asli dari rupang umum para bodhisattva di India, hingga pada masa dinasti Tang figur Dìzàng Wáng Púsà (地藏王菩薩) disesuaikan dengan budaya patrilinialisme yang dianut di masa itu. Menjadi sosok Biksu (pria) yang mengenakan jubah sederhana dengan selalu membawa sebatang tongkat yang lazimnya digunakan oleh para biksu dan sebuah batu suci cintamani. Serta memakai topi biksu bergambar lima Dhayani Buddha.

Tongkat berfungsi sebagai alat bantu sekaligus perlindungan dari binatang buas, sementara batu cintamani yang terang menderang merupakan sumber cahaya bagi beliau dikala mengelilingi neraka yang gelap. Kadangkala beliau dilukiskan tengah mengendarai seekor singa hitam bernama The Teng (ahli melompat) yang memiliki kemampuan untuk mendengarkan suara dari 33 tingkatan langit dan 18 tingkatan dasar bumi atau dalam posisi samadhi diatas sebuah bunga teratai. Dalam kuil –kuil  Buddha Mahayana altar beliau umunnya terletak di tengah (bagian utama) dengan ukuran yang sangat luas, sebagai representasi dari janji suci beliau untuk membebaskan jiwa-jiwa manusia yang tengah menjalani hukuman di neraka yang maha luas.

Menurut kisah mitologi Tiongkok, Dìzàng Wáng Púsà (地藏王菩薩) pernah bereinkarnasi sebagai Kim Gyo Gak seorang pangeran dari Negeri Silla (korea) yang tertarik untuk mempelajari Buddha setelah melakukan kunjungan kenegaraan di negeri Tang. Pada tahun 791 Masehi beliau memutuskan untuk menjadi seorang biksu dan menetap di gunung Jiuhua (salah satu dari empat gunung suci bagi umat Buddha di Tiongkok). Disana beliau hidup bersama anjing kesayangannya Sian Thing hingga mencapai kesempurnaan (meninggal) di usia ke 99 tahun.

Konon, pada waktu itu pegunungan Jiu Hua merupakan kawasan properti yang dimiliki oleh seorang pensiunan pejabat yang baik hati bernama Min Gong. Di masa tuanya beliau bernadzar untuk mengumpulkan dan menghidupi seratus orang biksu pengembara. Pangeran Kim Gyo Gak merupakan biksu yang keseratus. Sebelum memutuskan untuk tinggal bersama Min Gong, beliau mengajukan syarat untuk meminta tanah (wilayah) selebar jubah biksunya. Min Gong tentu saja menyetujui permintaan yang dianggap sepele ini.

Ketika jubah itu dilepas ternyata lebar dan panjangnya sangat luar biasa, bahkan dikatakan sanggup menutupi semua areal properti yang dimiliki Min Gong (gunung Jiuhua). Sebagai tuan tanah yang jujur meski agak terkesiap, Min Gong tetap memenuhi janjinya dan menyerahkan seluruh gunung Jiuhua pada pangeran Kim Gyo Gak. Kemudian ia memerintahkan putra tunggalnya yang bernama Tao Ming untuk menjadi murid sang biksu pangeran. Beberapa waktu kemudian Min Gong juga memutuskan untuk menjadi murid dari pangeran Kim Gyo Gak.

Dalam altar pemujaan Dìzàng Wáng Púsà (地藏王菩薩) biasanya juga terlihat dua pengawal disisi kanan dan kirinya. Yang seorang terlihat tua sementara yang lainnya terlihat masih berusia muda. Para pengawal ini konon merupakan Min Gong dan anaknya Tao Ming.

Perisitwa di gunung ini, sekaligus menunjukkan kesaktian pangeran Kim Gyo Gak yang dipercaya merupakan sang Dìzàng Wáng Púsà (地藏王菩薩) sendiri. Beliau-pun diangkat sebagai roh pelindung bagi gunung Jiuhua. Puluhan Klenteng dan vihara kemudian dibangun diatas gunung itu sebagai pemujaan dan penghormatan atas Dìzàng Wáng Púsà (地藏王菩薩).

Di Jepang, Ksitigarbha Bodhisattva disebut sebagai Jizō merupakan dewa yang paling populer di negara itu. Patung-patung beliau banyak didirikan diperempatan jalan dan areal-areal perkuburan. Sebab beliau dipercaya sebagai pelindung kaum komuter dan  roh anak-anak yang telah meninggal serta janin-janin yang gagal dilahirkan. Sejumlah anime (animasi Jepang) dan manga (Komik Jepang) menggunakan kisah Jizō sebagai background cerita maupun dasar-dasar karakter para tokohnya.

Sebagian umat Theravada di Laos dan Thailand juga mengklaim bahwa Dìzàng Wáng Púsà (地藏王菩薩) pernah bereinkarnasi sebagai Phra Malai seorang arhat di jaman modern dari Sri Lanka penerus ajaran Maudgalyayana salah satu murid Buddha Sidharta yang pernah bercita-cita untuk memperbaiki keadaan di neraka. (TAF)

Ref:

Jizo Bodhisattva: modern healing & traditional Buddhist practice, by Jan Chozen Bays

Jizo Bodhisattva: Guardian of Children, Travelers, and Other Voyagers, by Jan Chozen Bays

The Making of a Savior Bodhisattva: Dizang in Medieval China, by Zhiru

Kitab Suci Giok Lek disusun oleh: Gan K.H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar