Minggu, 29 April 2012

Dewa Segala Kemakmuran & Limpahan Jasa



Pada masa kekuasaan Dinasti Zhou pada masa pemerintahan raja Wu dari dinasti Zhou, hidup seorang tuan tanah yang bernama Thio Hok Tik (Zhang Fu De), sang Tuan tanah dikenal memiliki sifat yang sangat mulia lagi berbudi. Meski merupakan orang terkaya di wilayah itu, dia senantiasa bersikap ramah dan bahkan seringkali bersedekah untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.

Tuan tanah yang baik hati ini kemudian diangkat oleh kerajaan menjadi Pejabat urusan pajak.  Jabatan barunya ini tidak lantas menjadikan sang Tuan tanah menjadi sombong dan tamak, ia justru semakin royal dalam mendistribusikan harta dan kekayaannya demi kepentingan masyarakat yang dipimpinnya.

Konon daerah tempat Zhang Fu De menjabat, dikenal sebagai lumbung pertanian dengan tanah yang subur. Setiap kali tiba musim panen, hasilnya akan selalu melimpah ruah. Sampai suatu ketika, terjadi serangan hama yang berkepanjangan di tempat itu, semua petani mengalami gagal panen dan ancaman kelaparan mulai menghantui seluruh penduduk.  Anehnya sang Tuan Tanah tetap memiliki persediaan beras bahkan masih sanggup membagikan persediaannya  itu kepada orang-orang yang terancam kelaparan.

Ternyata selama mengalami  masa-masa panen yang melimpah ruah, Tuan Tanah Zhang Fu De selalu menyisihkan sebagian dari hasil panennya dan menyimpannya kedalam gudang. Tidak menjual atau menikmati semuanya sekaligus, ia selalu berpikir jauh kedepan,  bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan buruk, dan benarlah ketika panen tahun itu gagal, ia masih memiliki cadangan beras (makanan) yang cukup untuk menghidupinya bersama rakyatnya.


Prinsip  yang diterapkan tuan tanah ini, dikemudian hari dikenal dengan istilah menabung. Setelah ancaman kelaparan terselesaikan, beliau mengajarkan prinsip ini kepada seluruh masyarakatnya sehingga dalam khazanah mitologi Tiongkok, Tuan tanah Fu De Zheng Zhen (福德正神) . Dikenal juga sebagai tokoh yang pertama kali menciptakan ide tentang menabung.


Konon, Tuan tanah Zhang Fu De (福德正神) meninggal di usia yang cukup tua, 102 tahun  tanpa memiliki seorang-pun keturunan meski beliau juga pernah menikah. Tanpa pewaris, dengan sendirinya jabatan sebagai pengurus pajak daerah itu-pun kemudian diberikan ke orang lain. Malangnya orang yang menggantikannya  adalah seorang yang kejam dan lalim. Seorang antek penguasa yang tak pernah peduli pada rakyat dan hanya menggunakan jabatannya sebagai alat untuk menumpuk kekayaan pribadi.

Rakyat yang sudah merasa tertekan semakin menderita dengan munculnya berbagai macam bencana alam di daerah  itu. Alkisah, seorang penduduk tua di daerah itu, yang kemudian hidup miskin sebagai gelandangan ia selalu teringat akan kebaikan Tuan tanah Zhang Fu De semasa beliau masih hidup.

Demi menghomati sang Tuan tanah, dia kemudian membuat sebuah altar kecil. Dengan bahan seadanya, dari semua yang mampu dia dapatkan yaitu dua biji batu bata yang diberdirikan sejajar dan sebuah genting, yang ditaruh diatasnya sebagai atap. Tanpa dilengkapi rupang dan hanya ditempeli sebuah tulisan dari kertas Untuk menuliskan nama Fu De Zheng Zhen (福德正神).

Orangtua itu kemudian senantiasa berdoa dan bersujud pada sang Tuan Tanah didepan  altar sederhana itu sepanjang siang dan malam. Tidak disangka beberapa hari kemudian bencana alam di wilayah itu benar-benar telah berhenti. Tak lama kemudian datang pula perintah dari kerjaaan untuk menggantikan pemimpin zalim di kota itu.

Seluruh penduduk kota itu-pun lantas percaya pada kehebatan dari roh sang Tuan Tanah. Mereka lantas memberinya gelar sebagai dewa Bumi atau Du Di Gong mendirikan sebuah klenteng megah dikota itu sebagai tanda rasa terima kasih mereka atas pertolongan sang tuan Tanah.

Pada jaman dinasti Song, dalam konsep Kerajaan Semesta, Fu De Zheng Zhen (福德正神) hanya dianggap sebagai Du Di Gong untuk suatu masa, sebelum akhirnya menjadi seorang Buddha dan bergelar Amurva Bhumi. Pengertian dewa bumi-pun semakin diperluas. Menurut konsep ini,setiap orang yang pernah berjasa  atau membuat kebajikan besar di suatu tempat, maka ketika meninggal rohnya akan senantiasa berdiam ditempat itu. Menjadi dewa pelindung (dewa Bumi) disana.

Klenteng –klenteng pada setiap daerah lantas tidak lagi menyebut Fu De Zheng Zhen (福德正神) sebagai seorang dewa bumi, mereka menggunakan istilah Du Di Gong guna  penyebutan untuk dewa Bumi. Istilah inilah yang lazim digunakan hingga saat ini.

Ritual pemujaan Du Di Gong banyak dilakukan oleh masyarakat di kawasan asia tenggara, konon mereka menganggap bahwa Fu De Zheng Zhen (福德正神) yang seorang Du Di Gong juga menjabat sebagai salah satu dewa Rejeki. Dalam kepercayayan Tao, dewa  ini juga dipercaya sebagai salah satu Dewa yang paling sering mengabulkan permintaan umatnya, terutama dalam urusan usaha, kemakmuran dan keturunan.

Altar pemujaan terhadap Dewa bumi biasanya terletak diatas altar Hauw Ciang Kun, Rupangnya berwujud seorang tua dengan wajah ramah (tersenyum) dan tubuh yang gemuk. Memakai pakaian menyerupai raja atau kaum bangsawan tengah duduk sembari mengenggam sekeping uang emas.

Biasanya dalam altar beliau juga turut dipuji Du Di popo, beliau konon merupakan istri (perlambang unsur Yin) dari Du Di Gong.
Di Indonesia sendiri, mayoritas Klenteng mengangkat Dewa Bumi sebagai tuan rumahnya. Ada yang hanya memuji Fu De Zheng Zhen (福德正神)  , ada yang memuji Du Di Gong secara umum, dan ada juga yang membangun dua altar sekaligus masing-masing untuk Du Di Gong dan  Fu De Zheng Zhen (福德正神). istilah Du Di Ba Gong (dialek hokian yang berarti tuan besar penguasa tanah) kemudian dilafazkan menjadi Toapekong. Artinya pun kemudian mengalami perluasan ToaPekong menjadi sebutan kehormatan untuk seorang Dewa yang maknanya hampir sama dengan penyebutan Kongco (eyang leluhur, setingkat moyang).

Pemujaan terhadap dewa bumi, dalam manifestasi Dizhu (地主神)  juga dipercaya sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kekayaan dan kemakmuran bagi para ahli Feng Shui.

Perayaan terhadap beliau diadakan setiap tanggal 12 pada bulan kedua menurut sistem penanggalan tiongkok. (TAF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar