Policy and Disclaimer
Kebanyakan dari kita mengetahui perihal peradaban Romawi hanya dari pengenalan dasar sewaktu kita disekolah, entah lewat Subjek mata pelajaran Sejarah, Anthropologi dan Sosiologi mungkin sedikit juga disebut dalam pelajaran Fisika, Kimia dan Biologi serta Agama. Sayangnya semua itu hanya berupa potong-potongan kecil. (memang tidak mungkin bisa dihadirkan secara utuh, sebab Romawi sendiri adalah sebuah peradaban tua dan raksasa yang turut andil membentuk peradaban-peradaban lainnya di Benua Eropa, Asia dan Afrika.)
Dari kisah pengantar tentang “jaman Romawi kuno” ini, kita paling-paling hanya akan mengetahui bahwa pernah hidup di sana, di jaman itu, seorang tokoh bernama Marcus Licinius Crassus, yang disebut sebagai orang terkaya di dunia, pada masa itu (bahkan sampai sekarang), lebih jauh lagi jika cukup beruntung,Kita mungkin bisa dapat mempelajari sebuah fakta: bahwa kesatuan pemadam kebakaran merupakan ciptaan beliau, dan sekaligus ironis saat mengetahui betapa tim Pemadam kebakaran versi Crassus ini awalnya justru merupakan pasukan teror, yang digunakan untuk kepentingan akusisi sebuah kawasan properti dengan harga murah.
Ada tokoh lagi yang disebut Pompeius Magnus, jika mau kita analisa secara netral merupakan seorang pahlawan dan tokoh yang paling kompeten di masa-nya. Hanya sayang, takdir tak pernah benar-benar memihaknya. Akibat intrik politik serta kalah dalam peperangan, beliau harus melarikan diri ke mesir dengan mengenakan pakaian wanita, sebelum akhirnya dipenggal oleh penguasa disana. (dikisah-kisah kemudian hari, sang jenderal besar ini seringkali disudutkan dan diceritakan sebagai pihak antagonis….)
Tokoh yang paling dikenal tentu saja adalah Gaius Julius Caesar, tokoh paling ambisius di jamannya, dengan kutipan kata favoritnya Veni, Vidi, Vici (Aku datang, aku lihat, aku menang) yang juga merupakan pencipta sistem perhitungan kalender masehi yang masih kita gunakan hingga sekarang (sebenarnya beliau juga layak dicatat sebagai salah satu leluhur yang menurunkan garis dinasti kekuasaan Julian – Claudius, dimulai dari Octavian Augustus, putra-nya Tiberius dan kemudian si gila Caligula, jenderal Claudius, sampai diakhiri oleh si biadab Nero Germanicus), Julius Caesar seorang playboy tampan yang kemudian terlibat dengan Cleopatra. Berperan dalam pembubaran Republik dan menjadikan Roma kembali sebagai suatu Monarki.
Tokoh lain yang biasanya turut disebut, yang juga hidup sejaman dengan mereka bertiga (para Triumvirat jilid pertama dimasa akhir republic Romawi) adalah Marcus Tullius Cicero, biasa dia hanya akan disebut sebagai juru pidato dan seorang pengacara pro bono.
Robert Harris lewat novel Imperium-nya (merupakan bagian kesatu dari novel trilogi Cicero-nya, judul novel lainnya adalah Lustrum/ Conspirata dan Dictator, yang pasti juga akan saya buru), berdasarkan kajian-nya tentang sejarah republik Romawi serta naskah-naskah kuno baik tentang pidato, surat-surat dan essay Cicero yang berhasil disimpan hingga kini. Mencoba memberikan gambaran seorang Marcus Tullius Cicero secara utuh, lewat penuturan Tiro yang tentunya juga telah difiksikan sedemikian rupa.
Bahwa Cicero bukan cuman sekedar orator tetapi juga seorang politikus, pemikir serta ahli strategi yang brillian. Lebih jenius dari seorang Pompeius Magnus, Se-level dengan Crassus dalam manuver politik, meski tidak selicik dan se ambisius Caesar.
Membaca novel ini, anehnya, saya justru merasakan situasi masa-masa akhir republik Romawi yang digambarkan oleh Robert Harris sangat mirip dengan situasi Indonesia dewasa ini. Mulai dari muncul-nya tokoh-tokoh “baru” , situasi dewan yang bobrok dan penuh suap, yang ternyata dikuasai oleh kaum pemodal! Perlawanan kaum muda dan bersih seperti Cicero terhadap orang-orang lama (aristokrat). Kekuasaan “raja-raja kecil” ala para keturunan bangsawan, Berbagai usaha-usaha pencitraan dan deal-deal politik, Tentang mengarahkan opini publik, suara mayoritas rakyat yang rendah secara pengetahuan dan kompetensi yang tidak pernah merasa terwakili oleh senat. Bahkan isu yang heboh akhir-akhir ini soal transkrip pembicaraan yang kemudian menyebar juga ada dalam kisah ini.
Kisah Cicero dalam mendaki tangga kekuasaan juga mengingatkan saya pada film The Runner (2015) tentang usaha Colin Pryce mengembalikan karier-nya di dunia politik setelah hancur lebur karena skandal sex. (bukan berarti Cicero seorang yang seperti kaum bangsawan dan intelektual kebanyakan di masa itu cenderung bebas dalam hal seksual, dalam hal yang satu ini Cicero jelas seorang yang konservatif) Mereka hanya melakukan prinsip berpolitik yang sama “bagaimana mengubah angka 1 menjadi 2, tanpa merugikan negara, tanpa melanggar hukum dan diterima semua pihak.”
Akhirnya tentu kisah di buku ini, juga harus saya bandingankan dengan Pompeii, novel lain bertema Romawi kuno dari pengarang yang sama, yang juga telah saya baca. Dari kualitas tentu sama sempurna. Saya setuju 100% dengan pendapat yang menyatakan bahwa Robert Harris merupakan novelis “Ahli Romawi kuno” dewasa ini.
Beliau berhasil mengambarkan situasi Roma dengan sedetail-detailnya. Mulai dari sistem hukum, pemerintahan, masyarakat, Penggunaan Jam dan sistem pengairan (dalam novel Pompeii). Serta mengenalkan kita secara lebih mendalam pada tokoh-tokoh terkemuka dan perannya di masa itu.
Dalam Pompeii, Robert Harris hanya menghadirkan sosok Pliny the Elder sang pengamat gunung berapi. Sementara dalam Imperium, karena Cicero dan Tiro sendiri merupakan tokoh nyata maka Robert Harris-pun memberikan detail-detail tentang orang-orang di sekeliling mereka, mulai dari Crassus, Pompeius, Caesar, sahabat paling dekat Cicero yang kemudian mengumpulkan beberapa naskah-naskahnya Titus Pomponius Atticus, kemudian adik kandung Marcus Tullius Cicero, sang rekanan dan manager Quintus Tullius Cicero hingga rival Cicero selama awal-awal karir-nya sang Orator senior Quintus Hortensius Hortalus.
Seperti biasa terdapat juga beberapa kutian menarik (dalam hal ini benar-benar membangun) yang saya dapatkan dari novel ini, dan sudah saya dokumentasikan disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar