Senin, 24 Oktober 2016
Baru baca: Uesugi Kenshin : Daimyo Legendaris dari Kasugayama oleh Eiji Yoshikawa
Paling tidak ada lima kali gelar pasukan dan pertempuran yang terjadi di wilayah Kawanakajima antara pasukan pendukung Takeda Shingen dan pasukan dibawah kepemimpinan Uesugi kenshin. Sebagian kalangan ada juga yang berpendapat bahwa sebenarnya telah terjadi enam kali periode pertempuran antara pasukan negeri Kai dan provinsi Echigo di kawasan itu (dengan menambahkan pertempuran di sekitar danau Nojiri, pada tahun 1968).
Kendati demikian, semua pihak sepakat bahwa pertempuran yang terjadi di tahun 1561 adalah peristiwa pertempuran yang paling agung, paling dramatis dan paling layak untuk terus menerus dikisahkan. Inilah puncak pertempuran antara Takeda Shingen dan Uesugi Kenshin mereka saling mengadu seluruh ilmu dan pengalaman mereka selama ditempa dalam berbagai medan tempur. Kedua belah pihak saling melancarkan strategi perang tingkat tinggi. Berniat untuk melakukan sebuah pertempuran yang terakhir untuk selamanya, yang berarti sang Naga dan sang Harimau harus berduel satu lawan satu untuk menentukan siapa pemenang sejati.
Pada akhir perang ini, bila ditilik dari segi kuantitas, Takeda Shingen-lah yang akhirnya dianggap memenangkan pertempuran ini, namun jika diamati dari segi kualitas Kenshin dan pasukannya bisa dianggap sebagai pemenang sebab mereka berhasil menaklukkan sejumlah jenderal andalan pasukan klan Takeda. (termasuk adik kandung Shingen, Takeda Nobushige) Kerugian yang diderita kedua belah pihak pada akhir pertempuran-pun cukup signifikan. Sejumlah data dan analisa menunjukkan bahwa jumlah korban jiwa di pertempuran ini, jauh diatas jumlah semua korban –korban pertikaian lain yang terjadi selama masa Sengoku.
Pertempuran yang terjadi di Hachimanbara dan disebut sebagai pertempuran periode keempat dalam rangkaian perang Kawanakajima ini dijadikan pula sebagai tema sentral dalam novel karya Eiji Yoshikawa berjudul Uesugi Kenshin : Daimyo Legendaris dari Kasugayama.
Berbeda dari novel-novel terjemahan karya Eiji Yoshikawa lainnya yang pernah saya baca, baik Taiko maupun Shinsu Tenma Kyo (yang juga pernah saya review disini) dimana keduanya ditulis dengan gaya narasi dan bahasa yang ringan. Novel ini Sebaliknya, justru disampaikan dengan gaya bahasa yang serius nan kaku. Segala hal tentang tokoh utama baik Uesugi Kenshin maupun Takeda Shingen, situasi jepang saat itu hingga detail-detail jiwa samurai, dijelaskan lewat paragraf yang lebih terkesan deskriptif, begitu pula dengan pertempuran Kawanakajima.
Memang disertakan pula sejumlah puisi dan syair yang diklaim merupakan karya sang Uesugi Kenshin sendiri, namun dengan terjemahan yang cenderung datar, potongan-potongan kalimat puitis-pun pada akhirnya tetap tidak mampu mengusir kesan menjemukan novel ini. Penulis tampak seolah-olah hanya ingin menyampaikan, menyajikan bahkan menjejalkan sekumpulan kabar umum lengkap dengan data dan sejumlah analisa ke sidang pembaca-nya, tanpa peduli sama sekali terhadap kesan maupun reaksi mereka.
Sementara tentang misteri kematian Takeda Nobushige, penulis justru memberikan kesan netral.Bahwa bukan Uesugi Kenshin maupun Murakami Yoshikiyo yang berhasil membinasakan adik kandung Shingen itu. Nobushige justru dikisahkan tewas karena peluru acak yang ditembakkan dari senapan, oleh seorang prajurit yang bahkan tidak sempat terabadikan namanya dalam sejarah.
Bagian yang cukup menarik dari novel ini adalah perihal tampilnya tokoh rekaan macam Saito Shimotsuke dan gadis Tsuruna, mereka yang muncul secara tiba-tiba dalam peran cukup abstrak dan misterius, namun ternyata justru menjadi kunci bagi keutuhan seluruh cerita.
Buku ini jelas tidak direkomendasikan sebagai novel yang bisa dinikmati dikala senggang. Menurut saya ini merupakan jenis buku yang seharusnya disimpan di perpustakaan dalam kategori paling menjemukan sebagai buku referensi, yang hanya akan mampu dinikmati oleh para penggemar Eiji Yoshikawa dan para pemerhati masa-masa Sengoku di Jepang.
Ada dua kekuatan sentral pada periode Sengoku ini, yang pertama tentang kekuatan wilayah barat dimana Oda Nobunaga yang mencuci berasnya, tentang Hideyoshi yang menanak beras tersebut hingga menjadi nasi hangat untuk kemudian dinikmati oleh Tokugawa Ieyasu dan tentang persaingan antara Naga dari Echigo terhadap Harimau dari Kai. Jika dalam Taiko, Eiji Yoshikawa hanya sempat menceritakan tentang tiga tokoh yang disebut pertama. Maka di novel ini-lah sang penulis mengisahkan nama-nama lain yang mendominasi wilayah timur pada masa Sengoku. (TAF)
untuk kutipan-kutipan inspirasional bisa dilihat disini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar