Hujan berhenti ketika aku berdiri di dataran yang luas.
Aku melihat langit yang cerah dan meneriakkan teriakan seorang kesatria.
Medan pertempuranku telah mencapai empat ribu delapan ratus kilometer.
Kita tidak boleh hanya berpangku tangan atau kita akan menjadi tua dengan penuh penyesalan.
Rasa malu Hanjin akan tetap hidup.
kapankah kesedihan rakyat kaisar akan berakhir?
Mari kita menunggang kuda dan membawa busur kita.
Untuk membunuh kaum barbar.
Mari kita mengembalikan kejayaan Kitai di masa lalu,
Merebut kembali semua sungai dan gunung kita,
Lalu mengucapkan janji setia kepada kaisar yang mulia.
Medan pertempuranku telah mencapai empat ribu delapan ratus kilometer.
Kita tidak boleh hanya berpangku tangan atau kita akan menjadi tua dengan penuh penyesalan.
Rasa malu Hanjin akan tetap hidup.
kapankah kesedihan rakyat kaisar akan berakhir?
Mari kita menunggang kuda dan membawa busur kita.
Untuk membunuh kaum barbar.
Mari kita mengembalikan kejayaan Kitai di masa lalu,
Merebut kembali semua sungai dan gunung kita,
Lalu mengucapkan janji setia kepada kaisar yang mulia.
Pada balik halaman sampul buku terdapat ilustrasi peta wilayah kerajaan KITAI |
Guy Gavriel Kay dengan caranya sendiri mampu menyampaikan kembali nilai-nilai tradisional yang masih relevan hingga kini dalam tradisi kebudayaan masyarakat Tiongkok. Lewat pertautan para tokoh-tokoh fiksi dalam perjalanan sejarah mereka masing-masing.
Dalam segi bahasa penyampaian-nya meski terkadang memberi kesan “berat” ala buku-buku filosofi dalam beberapa bagian, namun secara garis besar disampaikan dengan bahasa yang cukup sederhana dan jenaka, lewat gaya satir yang cukup menohok. hal lain yang layak untuk dicatat adalah tentang kekuatan paragraf yang bersifat eurologi atau kenangan, yang digunakan saat menutup kisah seorang tokoh.paragraf-paragraf eurologi ini sesuai dengan kaidah sajak eurologi dalam kebudayaan sastra Tiongkok, mengambarkan setiap sifat baik dan jahat seutuhnya dari seorang tokoh, namun tetap memberikan penghormatan dengan tidak menitik beratkan pada tindakan jahat yang bersangkutan
Pada halaman awal terdapat sedikit keterangan perihal para tokoh dan peranan-nya |
Penulis justru lebih berkonsentrasi pada deskripsi-deskripsi latar belakang sebuah peristiwa sejarah yang hendak disajikan dalam rangkaian cerita, sehingga meski semua peristiwa tersebut nantinya, disampaikan dengan nama dan penyebutan lain.Pembaca yang mengetahui sedikit saja tentang kisah sejarah dinasti Song, bisa dengan mudah mengetahui peristiwa mana yang dimaksud oleh penulis.
Pesan yang mungkin ingin disampaikan dalam seluruh kisah dalam novel ini adalah bahwa tidak semua hal di dunia ini, bisa terselesaikan hanya dengan mengandalkan sifat Ksatria nan gagah berani ala kisah-kisah Wuxia, terkadang meski tampak rendah dan menyedihkan, demi sebuah kepentingan yang lebih besar dan berjangka panjang, hal-hal tertentu harus bisa diterima, disesuaikan dan disepakati. Termasuk segala macam konsekuensi-nya baik berupa pengkhianatan terhadap idealisme maupun konsep cita-cita awal.
Ilustrasi tentang peristiwa Jingkang, sebuah peristiwa kekalahan dan penghinaan terhadap rakyat Song (yang masih menganggap sebagai turunan dari masyarakat paling beradab sejak kebudayaan dinasti Han). Kisah yang juga nantinya menginspirasi Jin Yong dalam kisah wuxia-nya, dideskripsikan di novel ini dengan begitu muram dan menyedihkan , hingga lewat curahan perasaan dan tindakan yang dialami tokoh-tokohnya mampu membawa para pembaca untuk merasakan kegetiran yang sama.
Sebelum menulis novel River of the stars ini, Guy Gavriel Kay yang awalnya merupakan seorang asisten penulis untuk Christopher Tolkien dalam menerbitkan makalah-makalah terakhir ayahnya (sang J.R.R Tolkien, pengarang kisah Narnia). Telah dikenal sebagai penulis novel bergenre sejarah yang dipadukan dengan unsur fantasi. Dari sejumlah karya novel yang telah diterbitkan, sebagian memperoleh penghargaan sastra internasional, baik dalam bidang genre fantasi maupun sejarah. Beliau kerap kali mengambil setting-setting peradaban –peradaban kuno di asia dan eropa. Khusus untuk tema peradaban Tiongkok, sebelumnya telah terbit novel yang berjudul Under Heaven, yang mengambil setting pada masa dinasti Tang, 400 tahun sebelum kejadian dalam novel Rivers Of Stars ini. (sayangnya sejauh pengamatan saya, hingga review ini dibuat, novel Under Heaven dan karya penulis lainnya belum diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.)
Kajian historis dalam novel ini bisa dikatakan cukup akurat, mulai dari Keadaan, latar belakang, termasuk tradisi militer dan formasi perang tentara serta sifat-sifat para penguasa dinasti Song. Mampu dijelaskan dengan sangat baik dan terperinci, termasuk berbagai peristiwa sejarah di dinasti-dinasti sebelumnya yang digunakan sebagai pelengkap kisah. Mulai dari keberadaan patung prajurit terakota dimakam Qin Shi Huang, keagungan dinasti Han, kehadiran penguasa wanita Wu Zetian, hingga kisah pertempuran tebing merah.
Unsur fantasi dalam novel ini, ditampilkan lewat perdebatan tentang mitos-mitos dan hakikat para hantu yang acapkali muncul dalam kehidupan sehari-hari para tokohnya. Dimunculkan pula tokoh Daji, seorang Siluman yang sempat dipuja sebagai dewi pada masa dinasti Tang, Dalam hal ini usaha sang Penulis layak dipuji, dia benar-benar mampu menghadirkan sejumlah kisah legenda dalam tradisi dan kebudayaan masyarakat tiongkok yang bahkan jarang diketahui oleh kaum peranakan tiongkok dewasa ini.
Sang penulis juga sempat menyinggung tentang kebudayaan memelihara Taman yang dikembangkan para pejabat, pensiunan pejabat, seniman dan para bangsawan yang berkembang sejak masa dinasti Tang.Lewat kebudayaan taman ini pula, karakter para tokoh yang mayoritas memiliki sifat bijaksana nan puitis di masa awal perselisihan antara dinasti Song dan dinasti Jinn ini berkembang.
Jika-pun ada yang kurang dari novel ini, menurut saya adalah tentang background atau latar tokoh utama Ren Daiyan, tentang kemampuan beladiri, memanah dan strategi perang-nya yang hanya dijelaskan diperoleh lewat metode “latihan secara otodidak di tengah kawasan hutan terpencil.” Teka-teki tentang mengapa dan bagaimana Ren Daiyan menjadi Raja Perompak di rawa-rawa juga tetap tak terjelaskan. Kita hanya tiba-tiba menyadari bahwa Ren Daiyan telah menjadi sosok tokoh “dewasa” setelah bertemu dan di rajah oleh Daji.
Akhir kata, buku ini jelas sebuah novel yang berat, tidak bisa hanya sekedar dibaca! Tapi harus ditelaah dan diresapi. (saya membaca ulang novel ini 3-4 kali, sebelum bernai membuat review ini). Novel ini bisa dinikmati oleh siapa saja, termasuk mereka-mereka yang sama sekali tidak memahami sejarah dinasti-dinasti di Tiongkok. Hanya saja, terkadang detail-detail kejadian dalam suatu peristiwa yang sebenarnya tentu telah bercampur dengan imajinasi fiksi sang Penulis. Jadi akan menimbulkan sejumlah kontradiksi jika setelah membaca novel ini baru membandingkannya dengan catatan sejarah yang sebenarnya.
Sebagai contoh, dalam kehidupan nyata seorang jenderal Yue Fei mungkin tidak pernah bertemu apalagi sampai bercinta dengan seorang Li Qingzhao meski mereka benar-benar hidup di jaman yang sama sementara Qin Hui adalah sepenuhnya pejabat zalim nan licik bukan sekedar perdana menteri yang “terhimpit” oleh situasi /keadaan, dan perihal legenda rajah di punggung Jenderal Yue Fei itu, tentu saja yang merajah adalah sang Ibu bukan Daji, bunyi-nya “Melayani negeri dengan kesetiaan tertinggi.” tidak sekedar kata-kata puitis “Jangan pernah melupakan semua sungai dan gunung kita yang hilang.”(TAF)
untuk kutipan-kutipan yang inspirasional bisa dilihat disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar