Sabtu, 27 Agustus 2016

Baru Baca: Shinsu Tenma Kyo oleh Eiji Yoshikawa

Policy and Disclaimer



Ada pendapat yang menyatakan, jika ingin mempelajari situasi dan kebudayaan pada masa tiga kerajaan di Tiongkok  (184 masehi  - 280 masehi) secara mudah, bacalah Romance Of Three Kingdom (三國演義) karya Luo Guanzhong (羅貫中), meski novel ini bisa dikatakan 70% fiksi dan 30% fakta, namun dinilai mampu mengisahkan sifat-sifat ksatria para tokohnya secara detail serta menyajikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di masa itu secara lengkap. (Novel Romance Of Three Kingdom sendiri di dasarkan pada catatan sejarah, seorang ahli sejarah jaman dinasti Jin (晉朝) 265 masehi  - 420 masehi, Chen Shou (陳壽) yang telah digubah oleh sastrawan Pei Songzhi ( 裴松之))


Sementara untuk mengetahui era Sengoku (戦国時代) di Jepang (1467 masehi – 1603 masehi), yang lazimnya dipakai sebagai rujukan adalah karya-karya novelis Eiji Yoshikawa (吉川 英治). Umumnya kita hanya mengenal Taiko (新書太閣記 ) ( kisah Toyotomi Hideyoshi (豊臣 秀吉) yang berawal sebagai tukang kuda untuk Oda Nobunaga(織田 信長) hingga menjadi seorang Shogun, penguasa seluruh wilayah Jepang dibawah kaisar) serta Musashi (kisah samurai legendaris Minamoto Musashi (宮本武蔵 ) ) sebagai karya beliau. Padahal diluar dua karya itu, Eiji Yoshikawa sebagai seorang penulis novel bergenre sejarah yang produktif juga beberapa kali mengisahkan tentang kejadian-kejadian dan tokoh-tokoh dijaman Heike (Zaman  sebelum era Sengoku) serta menceritakan kembali dua kisah yang paling fenomenal di Tiongkok yaitu tentang kisah tiga kerajaan dan kisah pintu air (water margin / 水滸傳).


Dalam masa Sengoku, selain intrik-intrik perebutan kekuasaan serta upaya-upaya penaklukan wilayah  antara Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Ieyasu (徳川 家康). Terdapat pula kisah menarik lainnya, yaitu tentang persaingan antara Takeda Shingen sang Harimau penguasa provinsi Kai dan Uesugi Kenshin (上杉 謙信) sang Naga penguasa provinsi Echigo. Takeda Shingen (武田信玄) yang lebih senior, berasal dari keturunan bangsawan melawan Uesugi Kenshin sang Daimyo muda yang berjiwa patriot dan panglima perang tak terkalahkan. Mereka sama-sama beradu strategi perang ala Sun-Tzu (孫子兵法) yang didasarkan pada perhitungan lima elemen ( 五行).

Kisah mereka diceritakan oleh Eiji Yoshikawa dalam novel-nya yang berjudul Uesugi Kenshin (上杉謙信 ) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Kanshabooks dengan judul Uesugi Kenshin:  Daimyo Legendaris dari Kasugayama. Review-nya bisa dilihat disini

beberapa tahun setelah pertempuran terakhir di Kasugayama, Takeda Shingen wafat dalam usaha menyerang Klan Tokugawa di propinsi Mikawa. Kekuasaan klan Takeda jatuh kepada putranya Katsuyori (武田 勝頼), yang meski memiliki sifat dan cita-cita yang ambisius namun tidak memiliki kompetensi yang memadai. Tahun 1582 masehi, terdesak oleh kekuatan gabungan Oda Nobunaga dan Tokugawa Ieyasu serta dikhianati oleh salah satu Jenderal andalannya, Takeda Katsuyori beserta istri dan kedua putra-nya memutuskan untuk melakukan ritual Harakiri di daerah Temmokuzan.

Uesugi Kenshin sendiri juga gugur lima tahun setelah kepergian Takeda Shingen, meninggalkan permasalahan hak waris yang berakhir dengan perang saudara yang tak berujung diantara kedua anak angkatnya (Uesugi Kenshin tidak memiliki anak biologis).

pelan-pelan wilayah Timur memasuki masa kegelapan, sisa-sisa kebesaran Takeda Shingen dan legenda kehebatan Uesugi Kenshin-pun kian meredup dan hilang. kekuasaan wilayah yang baru berada di tangan para Panglima perang yang haus akan dominasi diantara Oda, Tokugawa dan Hideyoshi.

Shinsu Tenma Kyo (神州天馬侠) serta kisahnya hadir di jaman ini, entah ini hanya semata karya fiktif yang sengaja dikarang Eiji Yoshikawa berdasarkan kejadian sejarah sebagai kisah pengantar tidur bagi anak-anak atau memang ini adalah kisah aktual yang senantiasa diceritakan hingga menjadi legenda….

Bahwa ternyata ada sosok bernama Takeda Inamaru, putra kedua dari Katsuyori yang semenjak kecil dititipkan dalam biara dibawah perlindungan pendeta tertinggi negeri Kai ( salah seorang penasehat utama Takeda Shingen, yang juga seorang pemeluk Buddha dan mantan biksu).sehingga dia selamat dari bencana di Temmokuzan. Bahwa si pangeran ini-lah yang ternyata mewarisi bendera lambang keluarga Takeda, dengan dibantu oleh seorang pendeta misterius setengah dewa bernama Kashin Koji, seorang ahli strategi,  dan enam pendekar yang bersetia pada klan Takeda berjuang untuk tidak sekedar membalas dendam, namun untuk menciptakan perdamaian di seluruh Jepang.

Shinsu Tenma Kyo dikisahkan dengan gaya naratif secara sederhana dan ringan, mirip dengan novel Taiko sehingga meski terdapat beberapa plot cerita, tetap mudah diikuti, tidak memberikan kesan berat dan sama sekali tidak membosankan.

Kekuatan novel ini menurut saya terletak pada pemaparan berbagai strategi dan intrik-intrik yang dialami oleh para tokoh dalam cerita, seringkali hasilnya cukup mengejutkan dan diluar prediksi saya.

Salah satu bab yang cukup menarik adalah perihal pertemuan Toyotomi Hideyoshi dengan Tokugawa Ieyasu di reruntuhan puri Azuchi, meski hanya dimaksudkan sebagai pelengkap kisah, namun tergambarkan benar pribadi Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu sebagai dua orang yang paling berkuasa di Jepang pada masa itu.

Tampilnya karakter seekor rajawali raksasa secara otomatis mengingatkan saya pada kisah "Kembalinya Pendekar Rajawali"-nya Jin Yong, sementara istilah Jagarata yang digunakan untuk menyebut Batavia, Jakarta memberikan pandangan baru bagi saya bahwa betapa di era Sengoku dulu, mungkin memang telah ada  kaum perantau jepang yang juga turut meramaikan pelabuhan-pelabuhan dagang di wilayah Nusantara.

Jikapun ada yang saya anggap kurang, adalah perihal pengembangan karakter Sakuyako yang hanya dijelaskan sebagai seorang perempuan anak kepala samurai kampung yang justru memiliki kemampuan bertempur layaknya para laki-laki tanpa melibatkan sama sekali perasaan / penggambaran unsur feminin.
Akhir kata, novel ini dengan deskripsinya sebagai novel sejarah, terlepas dari segala dongeng maupun kebenaran didalamnya, kehadirannya mampu mengobati kerinduan serta mengingatkan kita kembali kepada kisah Taiko tentang kejeniusan penulisnya lewat deskripsi  nilai-nilai serta sifat-sifat penghidupan masa perang yang terpapar didalamnya. (TAF)

kutipan-kutipan yang inspirasional bisa dilihat disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar