Karya Yasunari Kawabata yang aslinya berjudul “Yama No Oto” atau The Sound Of
The Mountain ini, sebenarnya telah lama saya beli. Sempat pula saya baca
beberapa bab namun karena kesibukan satu
dan lain hal di kala itu, novel ini belum sempat saya tuntaskan dan terpaksa
berada dalam tumpukan buku-buku yang
“mungkin” tidak akan pernah saya baca sampai selesai. Baru 1-2 tahun kemudian,
diwaktu yang luang (membutuhkan kurang lebih semingguan) saya mencoba untuk “benar-benar” membaca salah satu novel
terpanjang karya sastrawan Maestro dari
Jepang ini.
Alur ceritanya berjalan dengan lambat, mengisahkan tentang kehidupan sebuah keluarga biasa di kota Tokyo lengkap dengan setiap permasalahan yang mereka hadapi, Sepintas permasalahan-permasalahan ini tampak klise dan umum, namun justru lewat pembahasan, sikap dan tindak tanduk para pelaku-nya sepanjang novel ini, penulis mengajak kita untuk menyoroti isu-isu sosial yang terjadi dikala itu, masa modernisasi dan kebangkitan sesudah era perang (berdasarkan tahun penulisannya antara tahun 1949-1954, mungkin perang yang dimaksud adalah Perang Dunia II).
Alur ceritanya berjalan dengan lambat, mengisahkan tentang kehidupan sebuah keluarga biasa di kota Tokyo lengkap dengan setiap permasalahan yang mereka hadapi, Sepintas permasalahan-permasalahan ini tampak klise dan umum, namun justru lewat pembahasan, sikap dan tindak tanduk para pelaku-nya sepanjang novel ini, penulis mengajak kita untuk menyoroti isu-isu sosial yang terjadi dikala itu, masa modernisasi dan kebangkitan sesudah era perang (berdasarkan tahun penulisannya antara tahun 1949-1954, mungkin perang yang dimaksud adalah Perang Dunia II).
Masyarakat Jepang dikala itu seolah “Dipaksa” untuk menerima setiap modernisasi ,menyesuaikan diri serta berperan dalam tatanan dunia yang baru. Bekerja sepanjang waktu, menaiki kereta api, membaca karya-karya sastra luar negeri, berdansa, menggunakan jasa binatu, menggunakan alat-alat rumah tangga elektronik dsb.
Tokoh Shingo Ogata mewakili pandangan kaum tua nan konservatif, mereka mengalami kebingungan (mungkin semacam Culture Shock) terhadap semua perubahan yang terjadi dengan cepat disekelilingnya. Kendati demikian mereka relatif beruntung sebab tetap memiliki pijakan yang kuat lewat kebiasaan sehari-hari yang tampak sederhana namun telah terpatri dalam karakter dan jiwa mereka. Sementara tokoh Shuichi, Kikuko, Fusako, Kinu dan lain-lain itu mewakili Angkatan muda, mereka yang juga sama bingung-nya dalam menghadapi modernisasi yang cepat , ditambah lagi mereka belum lah memiliki jatidiri dan karakter yang matang sehingga dengan mudahnya terjebak dalam perilaku seksual bebas,perselingkuhan , perceraian hingga aborsi dan bunuh diri.
Secara eksplisit juga dikisahkan tentang “para ex kaum perang” entah mantan prajurit maupun janda-janda yang ditinggalkan. Tampaknya masyarakat dijaman itu kurang memperhatikan kondisi kejiwaan mereka.Seperti Kinu dan Shuichi mereka tetap bisa menjadi bagian dari masyarakat, mereka tampak normal diluar dan mampu bekerja namun dibalik itu semua, mereka tetap memendam rasa trauma dan kehilangan akibat perang yang dapat “meledak” kapan saja dan harus dilampiaskan sewaktu-waktu.
Pada akhirnya tentu saja, cinta Shigeo pada menantu-nya Kikuko. Rasa cinta yang mampu membuat cemburu Shuichi dan Fusako. Penting digarisbawahi bahwa “cinta” ini bukanlah cinta yang berdasarkan pada birahi dan mengarah pada seksual. Iya benar bahwa pada akhirnya Shingo-pun pernah mengakui betapa ia lebih mencintai Kikuko dan sempat membayangkan dalam batinnya, namun hanya sebatas itu.
Cinta Shingo kepada Kikuko lahir dari ketidakberdayaan dan
kekecewaan Shingo, betapa di usia tua-nya dia justru mendapati bahwa Ia
(mungkin) gagal sebagai sosok orangtua karena tidak lagi mengenali sifat dan
tingkah laku anak-anaknya sendiri, mulai dari Shuichi hingga perceraian Fusako
yang tidak jelas. Dikala seperti inilah Kikuko hadir sepenuhnya bagi keluarga
itu, baik sebagai anak, menantu maupun pengurus rumah tangga meski dia sendiri
terluka. Shingo menghargai hal ini lewat “cinta”-nya pada Kikuko dan ini
dibuktikan ketika Shingo dan Kikuko “berkencan” ditaman, ditengah –tengah para
anak remaja yang tengah berkasih-kasihan, Shigeo dan Kikuko tetap berjalan
beriringan laiknya Ayah dan anak.
Shingo yang tua dan renta tetap berusaha “menengahi” perkara anak-anaknya (menemui Kinu, membicarakan janin dalam rahimnya serta memberikan solusi untuk menyelesaikan perceraian Fusako secara hukum). Dia tak tahu apakah yang dia lakukan itu adalah langkah yang baik atau buruk, dia hanya mencoba menjalankan perannya.
Isunya bukanlah perihal novel ini diselesaikan dengan good ending atau tetap mengantung, novel ini mungkin sekedar ingin menegaskan betapa hidup tetap senantiasa berjalan, perubahan akan terus terjadi dan setiap yang berada didalamnya harus senantiasa bertahan dan menyesuaikan diri lewat berbagai macam refleksi dan meditasi kehidupan.
Hal lain yang menarik dari Sound Of The Mountain ini, adalah perihal kepiawaian Seorang maestro Yasunari Kawabata dalam menghidupkan karakter Shingo, beliau melukiskan masa-masa senja Shingo dengan cukup realistis, dengan segala sakit yang dialaminya ketika bangun tidur, kelelahannya, ketakutannya akan kemampuan mengingatnya yang makin kabur, serta pemikiran-pemikiran eksistensi yang kadangkala timbul dalam alam pikiran dan perenungannya. Penulis juga memperkaya novel ini dengan menyisipkan beberapa referensi seni lukis, serta nilai-nilai kebudayaan Jepang (filosofi topeng Noh, tiga tempat terindah di Jepang, upacara jubah pangeran dsb).
Bagi saya sendiri, jikapun ada hal yang agak menganggu dan ini sungguh bukan merupakan sebuah justifikasi untuk menentukan jelek atau tidaknya sebuah karya novel, adalah perihal kejelasan Putra dan putri Shingo, mereka ini lahir dari istri pertama atau keduanya (TAF)
kutipan-kutipan yang inspirasional bisa dilihat disini
Shingo yang tua dan renta tetap berusaha “menengahi” perkara anak-anaknya (menemui Kinu, membicarakan janin dalam rahimnya serta memberikan solusi untuk menyelesaikan perceraian Fusako secara hukum). Dia tak tahu apakah yang dia lakukan itu adalah langkah yang baik atau buruk, dia hanya mencoba menjalankan perannya.
Isunya bukanlah perihal novel ini diselesaikan dengan good ending atau tetap mengantung, novel ini mungkin sekedar ingin menegaskan betapa hidup tetap senantiasa berjalan, perubahan akan terus terjadi dan setiap yang berada didalamnya harus senantiasa bertahan dan menyesuaikan diri lewat berbagai macam refleksi dan meditasi kehidupan.
Hal lain yang menarik dari Sound Of The Mountain ini, adalah perihal kepiawaian Seorang maestro Yasunari Kawabata dalam menghidupkan karakter Shingo, beliau melukiskan masa-masa senja Shingo dengan cukup realistis, dengan segala sakit yang dialaminya ketika bangun tidur, kelelahannya, ketakutannya akan kemampuan mengingatnya yang makin kabur, serta pemikiran-pemikiran eksistensi yang kadangkala timbul dalam alam pikiran dan perenungannya. Penulis juga memperkaya novel ini dengan menyisipkan beberapa referensi seni lukis, serta nilai-nilai kebudayaan Jepang (filosofi topeng Noh, tiga tempat terindah di Jepang, upacara jubah pangeran dsb).
Bagi saya sendiri, jikapun ada hal yang agak menganggu dan ini sungguh bukan merupakan sebuah justifikasi untuk menentukan jelek atau tidaknya sebuah karya novel, adalah perihal kejelasan Putra dan putri Shingo, mereka ini lahir dari istri pertama atau keduanya (TAF)
kutipan-kutipan yang inspirasional bisa dilihat disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar